Rating

Monday 19 November 2012

Rachel Corrie, Relawan Amerika Tewas Dilindas Buldoser Israel

     Lahir dari Olympia, AS, Corrie telah menjadi relawan kemanusiaan sejak usia belia—ia meninggal pada usia yang juga amat muda: 23 tahun. Keprihatinannya terhadap perang dan tragedi kemanusiaan mulai menemukan bentuknya tatkala ia tiba di Rusia sebagai relawan International Solidarity Movement .

     Rachel Corrie. Sejak Olympia Movement for Justice and Peace (OMJP), Olympians for Peace in the Middle East (OPME), Students Educating Students about the Middle East(SESAME), Olympia Fellowship of Reconciliation (FOR) hingga International Solidarity Movement (ISM) disuplai energi kemanusiaan olehnya untuk meneriakkan kata “Merdeka!” Karena penjajahan yang diprakarsai negaranya (AS), Inggris dan Negara-negara Eropa masih berlangsung di hampir setiap sudut bumi ini.

     Dengan pilihan merdeka, Rachel Corrie pergi ke Palestina. Rachel mempelajari isu tak masuk akal Palestina yang berhembus ke telinga dunia dengan kata “konflik” Palestina-Israel. Akhirnya dia dapati kenyataan bahwa Israel menjajah Palestina sejak lebih setengah abad lampau.
     “Rachel, untuk pergi ke Palestina, kewajibankah? Tak seorangpun menyalahkanmu untuk mengurungkan niat itu,” ujar Mama Rachel. Rachel menjawab pasti, “Barang-barang sudah kukemas. Rasa takut itu manusiawi. Tapi kupikir, melakukannya tak mustahil. Harus kucoba, Mam.” Seatraktif apapun bujukan keluarganya, niat Rachel tak tergoyahkan. Tekad telah bulat, “Goodbye Olympia…”
     Januari 2003. Rachel berangkat ke Israel untuk transit ke Tepi Barat. Setibanya di tanah para pengungsi itu, dia langsung bergabung bersama insan internasionalis (dari Inggris, Jerman, Itali dll) di International Solidarity Movement (ISM); wadah para pegiat kemanusiaan anti penjajahan. Pergerakan ini hanya memiliki dua syarat partisipasi: Pertama, pegiatnya yakin bahwa bangsa Palestina berhak merdeka berdasarkan hukum internasional dan resolusi PBB. Kedua, pegiatnya hanya menggunakan cara tanpa kekerasan untuk memperjuangkan kemerdekaan bangsa Palestina.
Ketika tiba di Rafah, Rachel saksikan tank, bulldozer, menara-menara sniper dan pos-pos penggeledahan Israel bertengger di antara puing-puing bekas pemukiman penduduk Gaza. Tembok baja raksasa dibangun di reruntuhan dekat perbatasan Mesir. Matanya menyapu sekeliling; tampak orang-orang Palestina bertahan, meski penindasan terus berlangsung. Wajah-wajah lusuh itu menjalani hidup serba kekurangan, menderita dan menunggu giliran direnggut maut. Itulah kisah jejakan pertama Rachel di bumi Palestina, seperti yang dikisahkan Craig Corrie, Mama Rachel Corrie.
     Rachel abstraksikan bahaya di daratan gersang itu. Debam-debam ledakan nyaris tak berjedah diselingi suara peluru-peluru yang dimuntahkan. Sesekali jerit ketakutan penduduk samar terdengar. “Bisakah kau dengar itu…? Bisakah kau dengar itu…?” ujar Rachel terbata-bata saat pertama kali menelepon mamanya dari rumah seorang Palestina tempat dia tinggal.
     Di Rafah, Rachel dan pegiat kemanusiaan lainnya menjadi benteng hidup, berdiri mengelilingi pekerja air kota Palestina yang menggali sumur. Dia hadang moncong laras panjang sniper-sniper militer Israel yang berada di menara benteng. Desir angin panas membahanakan deru misil-misil, tak hanya di Palestina, tapi ke seantero jagad.
     Rachel dan rekan-rekan terus berdiri mengelilingi sumur-sumur yang sedang digali para pekerja hingga lewat tengah malam. Demi setetes air agar basahi tenggorokan pengungsi Palestina yang terkurung sejak lama di bui Gaza. Hanya itu satu-satunya cara, setelah kebun zaitun penduduk Palestina dilindas buldoser-buldoser tentara IDF (tentara pertahanan Israel), setelah tentara-tentara Israel menimbun sumur-sumur dengan puing-puing rumah penduduk.
     Rachel mengasuh bocah yatim massal Palestina dalam naungan Children’s Parliament. Merekalah yang memantapkan kedewasaan Rachel. Melalui mereka, Rachel bisa berbahasa Arab. Melalui Rachel mereka berkenalan dengan bahasa Inggris.
      Peristiwa itu berawal pada tanggal 16 Maret 2003. Dua bulldoser dan tank-tank Israel melaju kencang di jalanan Hi Salam, Rafah, Jalur Gaza, perbatasan Mesir menuju rumah-rumah penduduk Palestina. Satu buldoser dikendarai operator, dipandu seorang tentara yang berhenti tepat di depan rumah Nasrallah, salah satu keluarga di Rafah. Sudah beberapa hari Rachel tinggal di dalamnya. Bukan sekedar menumpang tidur, tapi Rachel sengaja menghendaki tentara IDF mengurungkan niat membongkar rumah itu karena keberadaannya. Juga, Rachel menegaskan tekadnya untuk bersama warga Palestina memperjuangkan kemerdekaan. Kesan seram ini dipotret Rachel melalui e-mail yang dikirim kepada Mamanya: Dua kamar depan rumah mereka tak dapat digunakan. Dinding-dindingnya hancur ditembus peluru Israel. Seluruh anggota keluarga; tiga anak dan dua pasang suami istri tidur di ruang tengah. Aku tidur di lantai bersama anak perempuannya, Iman dalam satu selimut.
     Sekitar jam 5 sore, buldoser meraung-raung meminta tumbal. Saat melintas, rantai roda baja itu menyemburkan onggokan tanah kering hingga menimpuk aktivis-aktivis yang menjadi benteng hidup rumah warga Gaza itu. Seorang aktivis Amerika terlempar berguling-guling sebelum akhirnya tersangkut di kawat berduri dan seorang aktivis Inggris terjepit dinding. Buldoser D9R Israel siap melindas rumah itu, Rachel bergegas lari menghampiri. Dia tahu, keluarga Nasrallah berada di dalamnya. Dia hadang buldoser itu selayak Polantas menghentikan mobil di jalan raya. Aksi ini biasa dilakukan aktivis ISM sebelumnya.
    Buldoser Israel tak berhenti. Aktivis-aktivis ISM lain menjerit histeris melambai-melambaikan tangan. Mereka ketakutan. Raungan buldoser menindih semua suara. Melihat D-9R semakin bergairah menyeruduk, Rachel berupaya memanjat gundukan tanah yang dikeruk pisau buldoser agar tak tertelan. Posisi Rachel di atas gundukan itu cukup tinggi, pasti tentara IDF yang mengoperasikan kendaraan baja itu melihatnya. Tapi serdadu itu tetap tancap gas. Rachel terbanting kemudian terseret pisau Bulldozer. D9R terus melaju. Rantai-rantai baja bergemeretak melindas Rachel, kemudian mundur. Tersisa tubuh hancur Sang gadis Olympia.
     Teman-teman Rachel sesama relawan bergegas menghampiri. Rachel masih hidup kala itu. Dia sempat berkata, “Sepertinya punggungku remuk.’’ Tak lama ambulan Palestina datang. Saat itu dipastikan tiada harapan hidup bagi Rachel. Gadis berambut pirang itu dinyatakan meninggal beberapa saat setelah tiba di rumah sakit lokal.
     Sayang, Rachel Corrie berada di pihak yang “salah.” Dia mati dilindas buldoser Israel. Karena alasan itulah pemerintahnya (Amerika Serikat) mendiamkan dan menghentikan kasusnya. sekali lagi pemerintah amerika menghentikan kasus kematian rachel karena dia di "pihak yang salah " . 

      Itulah cerita singkat tentang rechel corrie yang saya dapat dari beberapa sumber . sikap apa yang akan kita ambil tentang kejadian yang menimpa corrie rachel . dan sampai saat ini peperangan itu masih terus terjadi dan akan terus jatuh korban-korban lain .

This song is dedicated for the heroes all around the globe
We sing for you and we’re shout for them
And no more heroes will fall (SATCF - Heroes )